Opini

Politisasi Bansos untuk Kepentingan Pribadi

Oleh: Astri Burna.,S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)

Advertisement HUMAS PEMPROV SULSEL

OPINI,-TEROPONGSULSELJAYA.Com- Pemilihan umum 2024 tidak lama lagi dilaksanakan. Salah satu hal yang hangat diperbincangkan adalah terkait politisasi bantuan sosial. Presiden Jokowi dan beberapa menteri yang tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai makin masif menggunakan program bansos sebagai alat kampanye pendongkrak suara.
Berdasarkan data BBC Indonesia (30-1-2024), total alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan anggaran 2023 sebesar Rp433 triliun. Bahkan lebih tinggi daripada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp468,2 triliun (2021) dan Rp460,6 triliun (2022). Alasan utama pemberian bansos untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.
“Pertama ya kita tahu ada kenaikan harga beras di seluruh negara bukan hanya Indonesia saja. Kedua kita ingin perkuat daya beli rakyat, yang di bawah,” papar Jokowi usai menghadiri kongres XVI Gerakan Pemuda (GP) Ansor, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/2/2024).
Namun, aroma politisasi bansos sangat kentara. Beberapa fakta yang menguatkan aroma politisasi bansos adalah Pertama, Pada 22/11/2023, di Biak Numfor, Papua, Jokowi mengumumkan akan memperpanjang periode bantuan beras hingga Maret 2024. Kedua, Pada 15/01/2023, di Pekalongan, Jawa Tengah, Jokowi mengumumkan akan menambah jumlah keluarga penerima bantuan beras pada 2024 dari 21,3 juta menjadi 22 juta. Ketiga, Pada 9/01/ 2024, saat sidang kabinet di Istana Negara, Jokowi mengumumkan perluasan program bansos. Keempat, Pada 29/01/ 2024, pemerintah mengumumkan skema BLT baru dari BLT El Nino menjadi BLT Mitigasi Risiko Pangan. Hal ini dilakukan karena BLT El Nino mendapatkan kritikan tajam jika diperpanjang. BLT Mitigasi Risiko Pangan akan diberikan untuk periode tiga bulan sebesar Rp600.000 dan langsung disalurkan semuanya pada Februari, yaitu bulan pelaksanaan pemilu.
Tidak hanya Jokowi, beberapa menteri yang sekaligus petinggi partai juga menggunakan bansos untuk meraih dukungan rakyat. Mereka berdalih bahwa bansos merupakan program pemerintah, bukan untuk kampanye. Akan tetapi, faktanya mereka menyampaikan pada masyarakat bahwa yang memberi bansos itu adalah Jokowi. Hal ini mengindikasikan permintaan dukungan pada paslon tertentu. Pemberian bansos termasuk BLT bukan hanya keputusan sepihak dari pemerintah akan tetapi telah mendapatkan persetujuan dari DPR untuk memberikan bantuan social dari dana APBN.
“Dan itu semuanya sekali lagi, itu kan sudah melalui mekanisme persetujuan di DPR, APBN itu. Jangan dipikir hanya keputusan kita sendiri. Tidak seperti itu dalam mekanisme kenegaraan kita pemerintahan kita ngga seperti itu,” pungkas Jokowi.
Pernyataan ini mengundang kritik dari Peneliti ekonomi dan kebijakan, Riskha Tri Budiarti., M.Sc. mengungkapkan kepada MNews, Senin (5/2/2024) bahwa telah terjadi politik “gentong babi” atau pork barrel politic. “Maknanya, ada penggunaan dana publik, dalam hal ini APBN, sebagai instrumen elektoral kelompok tertentu. Hal ini sama saja dengan money politic, bahkan lebih jahat, menggunakan uang rakyat,” kritiknya. Menurutnya, kondisi tersebut tampak menjelang puncak kontestasi Pemilu.

*Politik demokrasi menghalalkan segala cara*

Perilaku para pejabat yang memanfaatkan bansos untuk melanggengkan kekuasaan ini merupakan wajah asli praktik demokrasi. Para politisi menghalalkan segala cara untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Oleh karena itu, setiap peluang akan mereka manfaatkan untuk memenangkan kontestasi, meski dengan menyalahgunakan jabatan dan uang negara. Dalam sistem kapitalisme yang memiliki kekuatan besar adalah para pemilik modal yang mendanai segala macam kampanye-kampanye yang dilakukan. Yang ada adalah kepentingan sesaat untuk melanggengkan kekuasaan demi keberlanjutan bisnis para pemodal. Karena itu, segala cara digunakan untuk mendongkrak elektabilitas, bahkan dengan menyuap rakyat sebagaimana yang terjadi saat ini. Pemilu dalam demokrasi memang memberikan cela yang besar untuk menghalalkan segala cara, karena sistem demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku. Prinsip kebebasan merupakan salah satu pilar demokrasi. Hal ini karena asas demokrasi adalah sekularisme yang jelas mengabaikan aturan agama dalam kancah kehidupan, termasuk politik.
Sistem demokrasi juga membentuk kesadaran politik masyarakat yang rendah, ditambah lagi pendidikan dan kemiskinan yang terjadi saat ini membuat masyarakat berfikir pragmatis sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Negara seharusnya menyelesaikan persoalan kemiskinan dengan cara komprehensif dan dari akar persoalan yaitu dengan menjamin kesejahteraan ekonomi rakyat.

*Islam Sebagai Solusi*

Berbeda dengan Negara islam yang menjamin kesejahteraan rakyat secara individu per individu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa bangun di pagi hari dengan badan sehat dan jiwa sehat pula, dan rezekinya dijamin, maka dia seperti orang yang memiliki dunia seluruhnya” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjamin kesejahteraan rakyat, misalnya kewajiban bekerja bagi laki-laki dewasa, juga kewajiban nafkah laki-laki dewasa untuk para istri dan anak. Bagi kalangan yang lemah fisiknya dan tidak ada kerabat yang menafkahi, negara akan memberikan santunan rutin sehingga kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Penguasa di dalam Islam meyakini bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Oleh karenanya, penguasa dalam sistem Islam akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara’. Para penguasa dan pegawai adalah orang-orang yang berkepribadian Islam sehingga mereka akan bersikap amanah dan jujur dalam jabatannya. Mereka tidak akan menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan demi ambisi politik pribadi.
Selain itu, negara melalui sistem pendidikan serta informasi dan komunikasi akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam, termasuk kriteria dalam memilih pemimpin. Dengan demikian, umat akan memiliki kesadaran tentang kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Islam.
Di sisi lain, seorang muslim yang menjadi pemimpin di dalam sistem Islam jelas terjamin kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah sehingga tidak akan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. ia juga memiliki kompetensi yang teruji sehingga tidak perlu melakukan pencitraan semata agar disukai rakyat. Dengan sendirinya rakyat akan mencintainya karena keimanan, ketakwaan, dan kompetensi kepemimpinannya.
Wallahualam bissawab.

Oleh: Astri Burna.,S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)

Advertisement MEWUJUDKAN KABUPATEN LUWU YANG MAJU SEJAHTERA DAN MANDIRI DALAM NUANSA RELIGI

Related Articles

Close