TEROPONGSULSELJAYA.com,ESSAI
– Dinamika politik dan ekonomi di dalam sebuah negara adalah sebuah sistem kompleks yang selalu bisa memunculkan aktor-aktor yang berbeda, walaupun aturan main di dalamnya relatif tidak berubah.
Jika orang Indonesia tidak mudah lupa, setidaknya ada dua aksi besar yang melibatkan ribuan orang turun ke jalan di masa pemerintahan Jokowi-JK, beberapa waktu yang lalu. Aksi pertama, turunnya ribuan orang ke jalan raya karena isu penistaan agama. Aksi kedua, saat ribuan mahasiswa berkumpul di sekitar Gedung DPR RI untuk menentang rencana pengesahan undang-undang kontroversial, mulai dari RUU KUHP sampai disahkannya revisi Undang-Undang KPK.
Seperti terlihat pada dua peristiwa di atas. Peristiwa pertama merupakan aksi yang melibatkan massa dalam jumlah sangat besar. Aksi itu ternyata sarat dengan kepentingan politis. Konteks politik saat itu adalah menjelang dilangsungkannya pemilihan umum kepala daerah tingkat I Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Tuduhan penistaan agama terhadap calon petahana Basuki Tjahaja Purnama terryata sangat efektif untuk menggalang dukungan massa sekaligus menekan pemerintah. Tujuannya, agar Gubernur yang terkenal dengan sikapnya yang keras terhadap korupsi dan kinerja aparat yang lamban itu mendapatkan stigma politik yang melemahkan dirinya dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Peristiwa kedua adalah fenomena gerakan mahasiswa yang ternyata masih memiliki peran penting. Dua puluh tahun semenjak bergulirnya reformasi, berbagai agenda pembenahan di dalam sistem politik Indonesia ternyata menghadapi banyak tantangan ketika berhadapan dengan realitas politik Indonesia yang sesungguhnya. Tarik ulur kepentingan ekonomi politik ketika bertemu dengan persaingan di antara pemegang kekuasaan ternyata telah memunculkan berbagai hal yang melemahkan agenda reformasi.
Edward Aspinall, peneliti gerakan mahasiswa Indonesia di masa pergerakan reformasi 90-an, dalam wawancara khusus dengan Majalah Tempo edisi Oktober 2019, dia mengungkapkan berbagai pandangannya. Selalu ada benang merah dalam semua gerakan mahasiswa Indonesia dari zaman ke zaman. Yang paling umum adalah persoalan terancamnya kebebasan berdemokrasi serta tuntutan pemberantasan terhadap korupsi. “Ada ketidaksinkronan antara apa yang dianggap penting oleh masyarakat dan apa yang terjadi di arena politik formal,” ujar Aspinall kepada wartawan Tempo.
Mengapa pada saat ini Negara terlihat lemah dan enggan untuk menerapkan sanksi hukum yang keras terhadap para pelaku praktik korupsi? Mengapa aparat Negara seperti membiarkan bahkan melindungi perilaku politik yang mengedepankan kebencian dan kekerasan? Banyak yang mengatakan, hal itu terjadi karena tidak adanya ‘kemauan politik’ atau political will. Pendapat lain melihat itu sebagai persoalan lemahnya penegakan hukum dan konsekuensi tradisi kompromi politik dalam bernegara. Bagi Howard dan Jeremy, rasionalisasi semacam itu mengaburkan pandangan tentang bagaimana seharusnya sebuah Negara bekerja dengan kenyataan bekerjanya sebuah Negara.
Kondisi yang semrawut dan tidak elok ini banyak dipahami para peneliti perubahan masyarakat sebagai berlangsungnya ‘pasar gelap kekuasaan’. Di dalam pasar itu perilaku dari para elite yang memegang kekuasaan Negara dengan berbagai akses yang dimilikinya, memunculkan kontestasi para pemain yang merupakan kepanjangan tangan dari oligarki ekonomi politik. Oligarki itu sendiri tidak bisa dilihat dalam pemilahan yang jelas batas-batasnya. Dinamika politik dan ekonomi di dalam sebuah Negara adalah sebuah sistem kompleks yang selalu bisa memunculkan aktor-aktor yang berbeda, walaupun aturan main di dalamnya relatif tidak berubah.
Kontestasi politik yang terjadi di dalam Negara adalah permainan distribusi kekuasaan, kekayaan, dan status. Seringkali pembagian kekuasaan yang muncul hanya berdasarkan kompromi belaka berdasarkan proporsi koalisi politik yang terbangun. Indonesia masih berada pada transisi jalan di tempat yang berlarut-larut, bahkan di beberapa tempat mengalami kemunduran yang membuat kita masih jauh dari harapan demokrasi terkonsolidasi.
Masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media dan kebebasan berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi terhadap kelompok minoritas.
Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari “stigma” berpihak kepada kelompok intoleran yang anti-Pancasila dan anti-demokrasi. Sedikit-banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara mengkritik pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti-pemerintah. Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan.
Kampus perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era Reformasi kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan, terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni dengan orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan melainkan lebih karena pertimbangan politik, absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti.
Pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari kampus. Lemahnya internalisasi keadaban sipil (civic virtue) di antara warga negara sebagaimana tampak dalam perseteruan yang tajam, dangkal, dan kurang beradab antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Warga negara perlu belajar untuk berbeda pendapat atau pilihan politik sambil tetap berteman, bersahabat, dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa.
Maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan suku merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Perbedaan pilihan politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa saling percaya, toleransi, saling tolong menolong, dan saling menghargai perbedaan. Ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pemberangusan buku, pencekalan diskusi buku dan film. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan berekspresi.
Setelah 4 tahun pemerintahan berjalan, kritik dari pada analis dalam negeri maupusn luar negeri mulai muncul. Ed Aspinal (2018), Tom Powel dan Eve Warburton (2018 dan 2019) menganalisis perkembangan demokrasi di Indonesia dan berargumen bahwa terjadi kemandekan dan bahkan kemunduran demokrasi di mana Presiden Jokowi mulai melakukan praktik non demokratis seperti membubarkan ormas tanpa proses hukum, meningkatnya intoleransi, semakin kuatnya polarisasi politik, masifnya kabar bohong dan pelanggaran hak asai manusia. Rendahnya dialog dan sinergi di antara berbagai elemen itu adalah masalah demokrasi kita hari ini.
Reporter: kadimorfati