BONE, TEROPONGSULSELJAYA.com, -Gelombang perlawanan rakyat Bone terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang melonjak hingga 300 persen akhirnya memaksa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bone mundur. Namun keputusan yang diambil Selasa malam, 19 Agustus 2025, hanya berupa penundaan, bukan pembatalan.
Sekitar pukul 00.43 dini hari, aparat kepolisian yang sejak siang berhadap-hadapan dengan ribuan massa memilih mundur setelah kesepakatan dengan koordinator lapangan aksi. Massa tetap bertahan, menolak pulang sebelum pemerintah memberikan jawaban tegas.

Sekda Bone, Andi Saharuddin, akhirnya mengumumkan penundaan kebijakan tersebut. Ia menyebut kenaikan PBB-P2 merupakan “temuan dari pemerintahan sebelumnya” dan menegaskan bahwa kebijakan itu akan dikaji ulang. “Kita tunda dan akan evaluasi total,” ujarnya.
Namun, di tengah ribuan rakyat yang turun ke jalan, sosok Bupati Andi Asman Sulaiman dan wakilnya tidak pernah muncul. Ketidakhadiran pemimpin daerah ini menambah kekecewaan massa yang sejak awal menuntut dialog langsung.
“Pagar dijebol, chaos, dan rakyat tetap bertahan. Karena yang ditunggu bupati tak kunjung muncul,” kata Rian, salah satu peserta aksi.
Sejak 15 Agustus, posko perlawanan telah berdiri, dijaga mahasiswa dan relawan. Logistik rakyat datang dari sumbangan kecil: air mineral dalam kardus, makanan ringan, hingga terpal lusuh. Sementara itu, negara justru menurunkan 1.000 aparat TNI-Polri bersenjata lengkap, bahkan menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Koordinator Aliansi, Arfah, menegaskan bahwa penundaan bukan kemenangan sejati. “Kalau pemerintah keras, rakyat harus lebih keras,” tegasnya.
Bagi rakyat Bone, keputusan penundaan hanyalah bukti bahwa pemerintah baru bergerak ketika rakyat memaksa. Pertanyaan besar kini menggantung: apakah penundaan ini sekadar meredam amarah sesaat, atau awal dari perlawanan lebih besar jika kebijakan pajak tetap dipaksakan?
***kurty***













