TANA TORAJA, TEROPONGSULSELJAYA.com, – Proses pengangkatan Rudhi Andilolo sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Tana Toraja menuai sorotan tajam. Berdasarkan dokumen dan keterangan yang dihimpun, keputusan tersebut diduga kuat mengandung unsur maladministrasi dan pelanggaran prosedural, serta bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dugaan pelanggaran bermula dari ketidaksesuaian administratif terhadap ketentuan Permendagri Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pedoman Penilaian Calon Sekretaris Daerah, yang secara tegas mensyaratkan bahwa calon Sekda harus pernah menduduki sekurang-kurangnya dua jabatan struktural eselon II yang berbeda, serta telah mengikuti dan lulus Diklatpim II atau pendidikan kepemimpinan yang setara. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Rudhi Andilolo baru menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan dan belum genap dua tahun menduduki jabatan eselon II. Selain itu, yang bersangkutan juga belum pernah mengikuti maupun lulus Diklatpim II, salah satu syarat mutlak untuk menduduki jabatan tinggi pratama di lingkungan pemerintahan.
Dugaan pelanggaran prosedur semakin menguat ketika menelusuri proses seleksi terbuka atau open bidding yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja tahun 2023 lalu. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah, pengangkatan Sekda definitif wajib melalui seleksi terbuka yang transparan dan objektif. Namun, proses seleksi di Tana Toraja disebut tidak transparan dan bahkan panitia seleksi diduga meloloskan calon yang tidak memenuhi standar kompetensi sebagaimana diatur dalam sistem merit ASN. Dalam praktik umum pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), calon Sekda harus memiliki pangkat minimal IV/c serta pengalaman jabatan eselon II minimal dua tahun, yang dalam hal ini diduga tidak dipenuhi oleh calon terpilih.

Hasil analisis hukum menyebut bahwa Surat Keputusan Bupati Tana Toraja tentang pengangkatan Rudhi Andilolo sebagai Sekda cacat prosedur dan cacat hukum. SK tersebut dianggap bertentangan dengan Permendagri Nomor 5 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018, dan Permendagri Nomor 91 Tahun 2019 tentang Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tindakan ini juga dinilai memenuhi unsur maladministrasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yakni perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, atau mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan kelalaian administratif yang dapat menimbulkan ketidakadilan serta mengganggu tatanan sistem manajemen ASN di daerah. Karena itu, Ombudsman Republik Indonesia diminta segera melakukan pemeriksaan dan investigasi menyeluruh terhadap proses serta keputusan pengangkatan tersebut. Desakan yang berkembang antara lain agar dilakukan pemeriksaan atas dugaan maladministrasi, pemanggilan pihak-pihak terkait termasuk Bupati Tana Toraja, Panitia Seleksi JPT, dan BKPSDM, serta penerbitan rekomendasi tindakan korektif kepada instansi berwenang seperti Kemendagri, KASN, dan BKN agar proses pengangkatan Sekda dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pihak-pihak yang mengkritisi kebijakan tersebut juga meminta agar SK pengangkatan Sekda Tana Toraja ditinjau atau dibatalkan apabila terbukti terdapat cacat prosedural dan maladministrasi. Sejumlah dokumen seperti salinan SK pengangkatan, riwayat jabatan dan kepangkatan Rudy Andilolo, serta bukti ketiadaan sertifikat Diklatpim II disebut menjadi dasar penilaian adanya pelanggaran administratif dalam proses tersebut.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan penyimpangan dalam pengisian jabatan strategis di daerah. Apabila dugaan tersebut terbukti, maka SK pengangkatan Sekda Tana Toraja berpotensi batal demi hukum dan dapat menimbulkan konsekuensi serius terhadap tata kelola pemerintahan daerah. Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Kabupaten Tana Toraja belum memberikan klarifikasi resmi atas dugaan maladministrasi tersebut (Red)











