Menu

Mode Gelap
Belopa Run 2025, Momentum Gairahkan Semangat Olahraga dan Ekonomi Lokal MDA Gelar Latihan Bersama Kesiapsiagaan Bencana di Luwu. Remaja di Walenrang Tewas Tersengat Listrik di Dalam Kamar MDA dan Pokja Lanjutkan Forum Desa di Enam Desa lingkar tambang dan jalur akses. Kunjungi Korban Bencana Angin Kencang di Kelurahan Lamasi, Dhevy Janjikan Bantuan Pembangunan RLH Kabupaten Luwu Resmi Memiliki Pengurus IBCA MMA – INDONESIA BELADIRI CAMPURAN AMATIR

Opini

Mendidik dalam Bayang Kekuasaan: Mengapa Rakyat Cerdas Sering Dianggap Ancaman”

badge-check


					Mendidik dalam Bayang Kekuasaan: Mengapa Rakyat Cerdas Sering Dianggap Ancaman” Perbesar

YOGYAKARTA, TEROPONGSULSELJAYA.com, – Ketika Kepintaran Rakyat Menjadi Ancaman, Catatan tentang Pendidikan, Kekuasaan, dan Memori Sejarah

Saya berharap seperti banyak dari kita perubahan besar di negeri ini. Namun saya juga pesimis: revolusi bukan hanya soal kemarahan; ia lahir dari kesadaran kolektif yang matang. Di Prancis, pada akhir abad ke-18, rakyat tahu kondisi negerinya tidak bisa dibiarkan. Di sini, di Indonesia kontemporer, kesadaran semacam itu tampak masih terjeda antara apatisme yang dimodifikasi sebagai gaya dan sistem yang sengaja menjaga ketidaktahuan.

Membuat masyarakat cerdas sebenarnya adalah tindakan yang membebaskan. Tetapi kebebasan intelektual itu juga “bahaya” bagi mereka yang menikmati ketidakseimbangan kekuasaan. Rakyat yang terdidik berpikir lebih tajam, mengkritik lebih berani, dan menuntut kebijakan yang tepat sasaran. Sebaliknya, rezim atau elit yang bergantung pada kelangsungan status quo seringkali lebih nyaman menghadapi masyarakat pasif atau apatis karena sedikit pengetahuan berarti sedikit tuntutan, dan sedikit tuntutan berarti lebih banyak kebebasan untuk bertindak sewenang-wenang.

Sejarah menunjukkan betapa otoritarianisme sering menargetkan pemikiran bukan hanya lawan bersenjata, tetapi pula tokoh-tokoh budaya, akademisi, dan elit lokal yang dianggap sumber perlawanan di masa depan. Di Kalimantan Barat, misalnya, selama pendudukan Jepang pada Perang Dunia II terjadi tindakan represif yang menghancurkan kepemimpinan lokal dan intelektual setempat sebuah tragedi yang memutus pewarisan kepemimpinan lokal dan mengubah struktur sosial wilayah tersebut secara mendalam. Peristiwa-peristiwa seperti insiden Pontianak memperlihatkan pola: menyingkirkan mereka yang berkapasitas memimpin atau menginspirasi perlawanan.

Jika kita tarik garis ke masa kini, ada alasan struktural mengapa sedikitnya jumlah orang yang benar-benar kritis bukan kebetulan.
Pertama, orientasi pendidikan yang berlebihan pada instrumentalitas yaitu: sekolah sebagai mesin penghasilan pekerjaan (dan bukan sebagai arena pembentukan warga negara yang kritis) membatasi kemampuan berpikir tingkat tinggi. Ketika kurikulum dan kebijakan pendidikan mengejar sertifikasi, daya saing, dan outcome pasar kerja semata, kemampuan untuk mempertanyakan, berargumen, dan berinovasi dipinggirkan.

Kedua, ekonomi politik pendidikan: ketika akses ke pendidikan berkualitas mahal atau terkonsentrasi, hanya segelintir yang mampu mengembangkan kapasitas berdaya. Itu menciptakan monopoli kapasitas kritis dan kelompok yang berkuasa akan cenderung mempertahankan ketimpangan itu, karena banyak keuntungan bergantung pada persepsi ketidaktahuan massa.

Ketiga, dominasi narasi media dan kultur apatis yang dipelihara baik melalui pendidikan formal yang steril dari konten kewargaan, maupun praktik komunikasi publik yang menormalisasi sinisme membuat banyak orang merasa “apatis itu keren”, sehingga kritik menjadi jarang dan terfragmentasi.
Apa yang perlu dilakukan? Kritik tajam tanpa peta jalan kurang produktif; perubahan berkelanjutan butuh strategi ganda: membangun kapasitas dan melindungi ruang publik.

1. Reorientasi kurikulum masukkan literasi media, pendidikan kewargaan kritis, dan pemikiran komparatif dalam bentuk yang aplikatif. Kurikulum harus melatih murid untuk menilai bukti, membangun argumen, dan berkolaborasi secara independen dari sekadar “lulus dan dapat kerja”.
2. Perluasan akses pendidikan berkualitas subsidi untuk sekolah daerah, beasiswa untuk siswa miskin, dan program pelatihan guru yang menekankan pengajaran diskursif, bukan hafalan. Peningkatan kualitas guru adalah investasi langsung pada kapasitas kritis generasi berikutnya.
3. Perlindungan ruang publik dan kebebasan akademik institusi pendidikan dan media independen harus dijaga sebagai ruang aman untuk debat. Ketika institusi dilemahkan, kapasitas kolektif untuk menimbang kebijakan juga melemah.
4. Literasi media untuk semua usia bukan hanya di sekolah: program komunitas, kursus singkat untuk pekerja, dan kampanye nasional yang mendorong verifikasi fakta dan pemikiran kritis.

5. Membangun jaringan sipil yang tangguh organisasi masyarakat sipil, serikat profesi, dan komunitas berbasis keterampilan perlu diperkuat untuk menerjemahkan kritisisme menjadi aksi kolektif yang terorganisir, damai, dan efektif.

Adapun soal penyesalan dan takdir: menyesal itu manusiawi; belajar menerima (seperti ajaran spiritual yang bijak) membantu pulih dan melanjutkan aksi. Kutipan religius yang mengingatkan bahwa “apa yang terjadi adalah bagian dari takdir” bukanlah seruan untuk pasif, melainkan pengingat keseimbangan: menempatkan kemarahan dalam energi konstruktif belajar, bangkit, berdaya.

Pertanyaan terakhir yang patut kita renungkan: apakah sistem secara sengaja merancang ketidaksadaran? Jika bukan niat terencana, ia setidaknya adalah efek yang dapat ditoleransi oleh mereka yang memperoleh manfaat dari ketidaksetaraan pengetahuan. Itu yang membuat perjuangan untuk pendidikan bermutu dan kebebasan intelektual menjadi strategi paling aman untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan hari ini dan di masa depan.

Kita tidak harus menunggu revolusi spektakuler. Revolusi intelektual yang lamba dengan ribuan ruang belajar, guru yang menginspirasi, dan warganegara yang mampu menilai bukti adalah fondasi yang jauh lebih tahan lama. Jika kita berhasil membangun itu, mereka yang ingin berbuat seenaknya akan menemukan lawan yang jauh lebih tangguh: masyarakat yang tahu, berbicara, dan bertindak secara kolektif.

Baca juga

KOLABORASI YANG MENGHIDUPKAN: CERITA RELIMA DAN PERPUSTAKAAN DI BULUKUMBA

13 Oktober 2025 - 00:15 WITA

Di Bawah Kabel Tegangan Tinggi, Negara Diam — Rakyat Dibiarkan Hidup Dalam Ketakutan

11 Oktober 2025 - 10:48 WITA

Liefta Afrilia Putri Mahasiswi dan Aktivis di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir Gelar Diskusi: Perkuat Konsolidasi Diaspora dan Mahasiswa Indonesia di Mesir

17 September 2025 - 08:23 WITA

Winter Is Coming: Politik Ketidakadilan dan Krisis Kepercayaan Publik

2 September 2025 - 14:09 WITA

Kisah Tragis Raya, Balita 4 Tahun yang Kalah Melawan Ribuan Cacing

21 Agustus 2025 - 09:50 WITA

Trending di Opini