Opini

Corona dan Inferno Dante

Muh Taufik Kasaming Forum Studi Humaniora Makassar

Advertisement HUMAS PEMPROV SULSEL

TEROPONGSULSELJAYA.com – MAKASSAR,- Pernah nonton film produksi Hollywood berjudul Inferno? Film ini diperankan artis papan atas Tom Hanks, garapan Ron Howard. Diangkat dari novel Dan Brown yang juga penulis The Da Vinci Code dan Angel and Demond. Pernah menghiasi layar lebar sarat kontroversial serta yang menerima sebagai salah satu tafsir tragedi tragik historis.

Kisah naratif historik ilmiah: pemecahan simbol-simbol melawan kejahatan dan keserakahan serta ambisi kekuasaan. Dalam inferno, lukisan neraka ala Dante, singkat dikisahkan, seorang milyuner juga seorang ekologis, melihat kehancuran peradaban karena ‘overpopulasi’. Kerusakan bumi: pemanasan gobal, perang, kemiskinan, kelaparan, adalah karena bumi sudah sangat overpopulatif.

Lompatan populasi melebihi tesis Robert Malthus: deret ukur dan deret hitung: kelahiran dan pangan, terjadi jurang terjal yang kurvatif.

Bagi seorang ekologis fundamentalis kritis dalam inferno, menilai bahwa overpopulasi ini harus dihentikan dengan melepaskan ‘virus’ mutasi laboratori yang daya pandeminya sangat mematikan. Dengan misi: menyelamatkan bumi dengan membunuh untuk menyelamatkan yang lainnya. Terlepas narasi di atas merupakan novel dan film, sangat menggugah kesadaran kemanusiaan kita bahwa hal tersebut bisa ‘salah’ tapi juga bisa ‘benar’.

Mungkinkah? Atau setidak-tidaknya menuntun nalar kita bahwa tragik global virus Corona atau Covid-19 yang melanda populasi bumi menjadi benar adanya? Efek corona di luar defenisi medis, melahirkan tafsir dan hipotesis kecil-besar, ringan-berat, sederhana-rumit, hingga membingungkan.

Diskursus seperti ‘teori konspirasi’: bisa benar dan salah. Serta tafsir “bablas-kreasionisme agama”; kutukan, hukuman pendosa hingga virus corona adalah tentara Allah, semakin nihilistik ! Sisi lain, media sosial menjadi jurisprudensif atas kondisi. Semua mendadak medis, mendadak ahli, mendadak benar, dalam ruang maya informatif yang bebas.

Padahal, kita tahu bahwa virus yang pandemik tidak melihat status sosial seseorang: kaya-miskin, awam-ahli, pengangguran-profesional, hamba-raja, SARA, dan gender! Virus hanya tunduk dan kamuflatif pada syarat; inangnya, suhu, ruang, untuk hidup membelah generatif.

Black Death

Tarik historis di Eropa dan sebagian kecil Timur Tengah dan Asia Timur pada abad pertengahan (abad 14). Bangsa, negara, populasi nyaris punah akibat “Wabah Hitam”. Hampir 60 persen populasi di Eropa mengalami bencana kematian. Temuan medis pada abad selanjutnya bahwa Wabah Hitam disebabkan oleh wabah Pes (tikus) sebagai inang bakteri “Yersinia Pestis”.

Hasil penelitian perkembangan sains medis Eropa saat itu: akibat buruknya tata ruang dan sistem sanitasi kota-kota hingga desa-desa di Eropa. Wabah Hitam memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi, sosial, budaya, politik dan agama di Eropa saat itu. Efek Wabah Hitam, memicu inflasi, kerenggangan sosial, kehancuran keadaban dan moral.

Wabah Hitam menoreh catatan krusial di ranah politik. Wabah Hitam menyudahi sejarah perang saling agresi penaklukan dan haus kekuasaan gaya klasik monarkhi absolut di Eropa. Wabah Hitam ditengarai juga melanda wilayah Mongolia membatalkan nafsu penaklukan bangsa Mongol ke belahan bumi barat (Asia, Eropa, Timur Tengah) sekaligus keruntuhan Dinasti Mongolian.

Wabah Hitam memaksa kelompok-otoritas keagamaan mengutak-atik tafsir langit menjadi tafsir publik melalui konklaf gerejani: Wabah Hitam adalah akibat para pendosa. Bahkan otoritas keagamaan menerbitkan buku “Malleus Maleficarum” (palu penyihir) abad ke 15 yang memerintahkan untuk membunuh para penyihir sebagai penyebar wabah, yang kebanyakan vonisnya tertuju pada kaum perempuan.

Catatan sejarah sekitar 50 juta kaum perempuan Eropa mengalami persekusi, berupa penyiksaan, digantung, dibakar hidup-hidup atau ditenggelamkan dengan pemberat.

Ranah keagamaan melahirkan gerakan reformasi Protestantik Lutherian. Diskursus dan praktek keagamaan menjadi lebih tahu diri atas kekurangan dan batasan-batasannya. Akhirnya Eropa banyak belajar atas tragedi tragiknya, dan sekarang menjadi benua berperadaban tinggi dan maju. Bagi masyarakat Eropa, dentuman tragedi tragik membangunkan kesadaran kolektif dan melahirkan quantum besar.

Corona Social Effect

“Efek” corona tentunya secara alamiah pasti mengakibatkan dentuman maupun quantumitas dalam menemukan ‘quasi’nya. Sehingga terjadi katarse (chaos) yang selanjutnya melahirkan quasi-isasi baru pada ranah; sosial, ekonomi, budaya, sains, politik, bahkan agama. Efek corona setidak-tidaknya melahirkan solidaritas global yang terejawantah menjadi ideologi baru “Neohumanisme” (kemanusiaan).

Diskursus bahwa virus mutasi laboratori adalah senjata efektif pemusnah massal yang lebih murah menggantikan senjata konvensional yang mahal, harus dibuang ditong sampah sebagai diskursus periveral (tidak berguna), meski itu bisa niscaya. Relativitas politik menunjukkan bahwa spirit kemanusiaan koalisi negara-negara sosialis-komunis yang agnostik bahkan atheis (China, Rusia, Cuba, Venezuela) membantu Italia, Iran, Serbia, termasuk Indonesia dan beberapa negara-negara lainnya yang terpapar pandemi corona.

Hal ini memaksa membuka mata kita bahwa perbedaan sistem negara, ideologi, bahkan agama, serta simbol-simbol identitas pembeda lainnya, merobohkan tembok ke-egois-an kita menjadi kohesi kemanusiaan. Semuanya relatif luruh dan bersemi dalam “Lockdown-kesadaran akal sehat”.

Menurut para ahli molekuler, jika pemanasan global tak teratasi, maka yang terjadi adalah melelehnya es padat diwilayah kutub utara dan selatan. Tidak hanya dampak meningginya air laut, tetapi juga akan melepaskan bakteri dan virus yang selama ini terperangkap jutaan tahun dalam es. Efek corona menyehatkan kembali selimut (atmosfir) bumi. Suhu dan udara bumi terasa lebih segar, akibat terhentinya industri-industri polutif di bumi.

Berlian paradoksnya: Covid-19 hadir sebagai ‘tongkat sihir Ibu Corona’ pembawa pesan kosmik dan pesan semesta terhadap manusia akan magna keseimbangan materi dalam ruang dan waktu! “Kehidupan adalah titian keseimbangan, maka hati-hatilah menapakinya”. (Confucius).

Reporter: Kadimorfati S

Advertisement MEWUJUDKAN KABUPATEN LUWU YANG MAJU SEJAHTERA DAN MANDIRI DALAM NUANSA RELIGI

Related Articles

Close