BONE, TEROPONGSULSELJAYA.com,
– Apa arti jabatan bupati bila rakyat berteriak, pemimpin justru bersembunyi, ribuan warga Bone tumpah ruah ke jalan.
Selasa, (19 Agustus 2025)
Mereka menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) yang melonjak hingga 300 persen—kebijakan yang hanya bisa lahir dari telinga yang tuli dan hati yang beku.
Di Lapangan Merdeka, suara rakyat bergaung: “Cabut kenaikan PBB!” Bukan sekadar slogan, tapi jeritan hidup yang selama ini diperas atas nama pembangunan.

Konvoi panjang bergerak menuju kantor bupati. Namun sesampainya di sana, rakyat hanya menemukan pagar besi, polisi bersenjata, dan ketiadaan pemimpin.
Bupati Andi Asman Sulaiman dan wakilnya tidak tampak batang hidungnya. Mereka memilih diam, seolah rakyat hanyalah angka dalam daftar pungutan.
Sementara rakyat berpeluh di bawah matahari, pemimpin yang digaji dari keringat mereka justru bersembunyi entah di mana. Apakah jabatan hanya singgasana empuk untuk menikmati pajak, tanpa keberanian menghadapi rakyat?
“Pagar dijebol, chaos, dan rakyat tetap bertahan. Karena yang ditunggu bupati tak kunjung muncul,” ujar Rian, salah satu peserta aksi
Aksi ini bukan spontan. Sejak 15 Agustus, posko perlawanan berdiri, dijaga mahasiswa dan relawan. Logistik datang dari rakyat kecil, kardus berisi air mineral, makanan ringan, terpal lusuh. Bukti bahwa yang menopang perlawanan bukan kekuasaan, melainkan solidaritas sesama yang ditindas.
“Kalau pemerintah keras, rakyat harus lebih keras,” ujar Arfah, Koordinator Aliansi.
Ironi pun mencolok: 1.000 aparat TNI-Polri bersenjata lengkap disiagakan hanya untuk menghadapi rakyat yang menolak diperas. Gas air mata pun ditembakkan, seolah suara rakyat lebih berbahaya dari kejahatan.
Hari itu, rakyat Bone menunjukkan satu hal: mereka tidak lagi percaya pada janji manis. Pajak yang katanya untuk kesejahteraan, justru menjelma cambuk penindasan.
Pertanyaan besar menggantung di udara Bone: Untuk siapa pemerintah bekerja untuk rakyat, atau hanya untuk menambah isi perut penguasa?
***kurty***












